![]() |
Keindahan pantai berpadu tangkis laut yang misterius |
Penasaran. Itulah reaksi pertama
saya kala ada teman mengabarkan, ada “jembatan” yang tiba-tiba muncul di tengah
laut. Bayangan saya saat itu, “jembatan” itu muncul dan menghubungkan dua pulau
atau setidaknya dapat dilalui dari daratan menuju tengah laut meskipun tidak
sampai menghubungkan dua pulau atau daratan. Namun istilah “jembatan” seiring
derasnya informasi, khususnya dari jejaring sosial tidak lagi pas. Melihat
gambar-gambar yang di-upload di laman
facebook oleh beberapa teman misalnya memperlihatkan tumpukan batu-pasir dari
ukuran besar hingga kecil menumpuk dan memanjang mengikuti garis pantai. Tentu
istilah jembatan tidak lagi sesuai. Beberapa istilah pun muncul.
Dari pemberitaan yang ada, baik
cetak, elektronik ataupun kabar dari mulut ke mulut bermunculan istilah-istilah
yang tidak sama. Beberapa media menyebut tangkis laut, ada yang menambahi
tangkis laut ajaib, sementara ada warga lokal (disamping istilah jembatan tadi)
menyebut “takat” (gunung laut), bahkan salah satu media online nasional menyebut
dengan “pulau ajaib”, termasuk ada juga yang menyebut sebagai “pulau karang
aneh”. Mayoritas sumber pemberitaan itu menyertakan istilah-istilah seperti aneh,
ajaib, misterius, dan mengait-ngaitkan dengan hal-hal mistis dan supranatural.
Rasa penasaran tetaplah
membuncah, apalagi tempat saya bekerja termasuk dekat dengan lokasi yang apapun
namanya itu, yakni di pulau Kangean, tepatnya rumah kontrakan saya di Kecamatan
Arjasa. Sementara lokasi –untuk selanjutnya saya akan menyebut tangkis laut—itu
berada di Kampung Tembang Desa Buddhih Kecamatan Arjasa. Rasa penasaran itu
akhirnya terjawab setelah ada ajakan dari UPT Pendidikan Kec. Kangayan untuk
mengunjungi tangkis laut itu. Tak kurang dari 20 orang ikut dalam petualangan
itu, diantaranya Kepala UPT Pendidikan, Pengawas TK/SD dan sejumlah guru dan
Kepala Sekolah SDN Kec. Kangayan.
Start point dimulai dari
Desa Angon-Angon Arjasa, meski ada beberapa peserta yang langsung berangkat
dari rumahnya. Jam digital di layar ponsel menunjukkan angka 07.20 WIB. Menggunakan
sepeda motor kami menarik gas dengan kecepatan sedang, antara 40-60 km/jam
menuju titik point ke-dua, Sungai Bato-Bato (batu-batu). Perjalanan melewati
bebukitan dengan kondisi jalan darat khas kepulauan yang rusak parah.
Pengendara sepeda motor harus pandai-pandai meliuk-liukkan badan, bermanuver
menghindari lubang-lubang di jalanan yang beraspal tipis—tentang jalan ini. Banyak
orang Kangean mengeluh dan mengharap, kapan mereka dapat jalan ber-hotmix seperti jalan raya di Sumenep.
![]() |
Melintasi sungai bato-bato. Airnya kekuningan |
Pada angka 08.17 WIB kami tiba di
Sungai Bato-Bato, ternyata sungai ini berfungsi sebagai pelabuhan untuk
perahu-perahu ukuran kecil dan sedang sebagai transportasi penghubung antar
pulau-pulau kecil dengan pulau Kangean. Suasana pelabuhan lebih ramai dari
biasanya. Bisa ditebak, disamping warga lokal yang biasa menggunakan jasa
perahu untuk bepergian, ada puluhan orang yang juga berniat mengunjungi tangkis
laut itu. Memang sejak kemunculan tangkis laut itu, banyak masyarakat,
khususnya warga Kangean sendiri datang berduyun-duyun demi menjawab rasa
penasaran mereka, seperti juga saya saat ini.
Rupanya tidak semua peserta
datang tepat waktu. Kami harus menunggu beberapa teman yang belum datang.
Kordinator rombongan mencari perahu carteran untuk perjalanan selanjutnya.
Sebenarnya dengan perahu ukuran agak besar, dari pelabuhan ini bisa langsung
menuju ke lokasi. Namun kami mendapatkan perahu ukuran kecil, sehingga
diputuskan bahwa harus transit dulu di Desa Pajenangger. Menurut salah seorang
teman yang berpengalaman, dengan transit di Pajenangger, jarak tempuh
sebenarnya akan lebih pendek. Sebab jika langsung dari pelabuhan ini, perahu
akan bergerak sedikit memutar menyisir pantai selatan pulau kangean yang
dipenuhi dengan ceruk dan tanjung ditambah dengan pulau-pulau kecil berbatu
karang yang tidak bisa dilewati perahu. Atau bahkan perahu harus bergerak lebih
ke tengah jika air kebetulan surut.
Pada angka 09.15, mesin diesel
perahu dinyalakan dengan “engkol” tangan. Baling-baling berputar dan mendorong
pelan perahu kecil dengan 20 penumpang plus
satu sepeda motor. Sungai Bato-Bato adalah sungai muara yang dangkal dengan air
kekuningan. Di sisi kanan-kiri dipenuhi tumbuhan bakau. Anehnya meski bernama Sungai
Bato-Bato yang artinya sungai batu-batu, saya tidak melihat adanya batu atau
sejenisnya di sepanjang sungai ini. Tidak ada yang menarik dari sungai ini.
Lepas dari sungai, pemandangan
laut dengan gugusan pulau-pulau kecil nan eksotis menyihir mata. Mulut tidak
henti-henti melafalkan pujian-pujian ketakjuban akan keindahan pulau-pulau ini.
Air laut yang tenang, biru dan jernih. Sesekali ikan-ikan melompat-lompat di
atas air. Perahu kecil yang membawa kami melaju pelan. Mungkin karena kelebihan
muatan. Tapi saya tidak kwahatir perahu ini akan tenggelam. Laut begitu tenang
berkawan. Selang satu jam, tepatnya pada angka 10.58 perahu sandar di pelabuhan
kecil di sisi utara desa Pajenangger, Arjasa. Keindahan panorama alam; laut di
bawah ditingkahi pulau-pulau kecil dan latar pengunungan pulau Kangean di utara
masih menghipnotis mata saya. Indah nian. Udaranya segar. Air lautnya bersih.
Dan ikan-ikan berenang dengan damai. Langit cerah. Benar-benar sempurna.
Tak banyak yang bisa saya
tuliskan tentang desa Pajenangger ini. Sebuah desa yang biasa. Terbelakang. Tidak
ada sinyal ponsel. Kecuali lautnya yang eksotis, tidak ada yang menarik. Dari
Pajenangger, kami harus lewat jalur darat dulu. Menaiki mobil pick-up
selama kurang lebih satu jam, akhirnya kami diturunkan di kampung Bugis, masih
masuk desa Pajenangger. Karena jam sudah menunjuk angka 12.06, rombongan
akhirnya sepakat untuk shalat dhuhur dulu. Selepas shalat dhuhur perjalanan
dilanjutkan menggunakan perahu. Dan kami mendapatkan perahu yang lebih kecil
dari yang sebelumnya. Terpaksa rombongan dipecah menjadi dua. Dan perahu yang
terbuat dari fiber itu harus mengangkut kami dua kali. Saya termasuk rombongan
ke dua. Dan harus menunggu hampir satu jam sampai perahu itu kembali dari
mengantar rombongan yang pertama.
Sang “kapten” perahu yang
berdarah bugis itu, sempat bercerita bahwa, tangkis laut itu memang muncul
secara tiba-tiba dalam satu malam. Pada malam hari, di tanggal 18/1, terdengar
bunyi-bunyian yang tidak biasa di tengah laut. Warga sekitar yang sedang
mencari ikan menduga, bunyi itu lantaran cuaca ekstrem yang memang terjadi saat
itu. Dan, keesokan harinya, muncullah tumpukan bebatuan yang kemudian disebut
jembatan aneh, tangkis laut dan istilah-istilah lainnya.
Giliran rombongan keduapun tiba.
Saya bergegas melompat ke atas perahu. Setelah mesin dihidupkan, perahu ini
melesat dengan cepat. Wajar saja, bodinya ringan karena terbuat dari fiber.
Setelah hampir 30 menit, sang “kapten” perahu menunjuk sebuah tanjung berbukit
yang tidak jauh lagi. “di balik tanjung itu posisinya”, saya mengangguk antusias.
Melewati tanjung itu, perahu kemudian berbelok kanan dengan pelan. Benar,
batu-batu yang membuat kehebohan itu ada di sana. Memanjang mengikuti garis
pantai. Perahu bergerak pelan berhati-hati terhadap batu karang di perairan
dangkal. Di balik batu-batu itu, dua perahu ukuran besar sudah terparkir, dan
sepertinya perahu yang lebih besar terdampar dan tidak bisa bergerak. Puluhan
muda mudi berenang, ada juga yang tetap di atas perahu, dan sebagian yang
lainnya “jalan-jalan” di atas tangkis laut itu.
Tepat jam 14.20 kami turun dari atas perahu
dan menginjakkan kaki di atas tangkis laut itu. Saya tidak bisa membendung rasa
penasaran. Mengabaikan wanti-wanti nenek via telpon sebelum berangkat agar
jangan pernah menginjakkan kaki di atas tangkis laut itu. Katanya, bisa saja
batuan itu ambrol dan saya bisa ditelan oleh laut. Nenek mendengar cerita
tentang tangkis laut ini versi mistisnya dari kabar mulut ke mulut. Tapi aku
pikir itu tak lebih bentuk kasih sayang dan kekwatiran sebagai orang tua.
Karena rasa penasaran stadium
empat, hal pertama yang saya lakukan di tempat itu adalah menyentuh pasir dan bebatuan
yang tinggi-tumpukannya sekitar tiga meter di atas permukaan air itu. Pasirnya
tidak halus sebagaimana pasir pantai pada umumnya yang saya lihat dan rasakan
seperti di pantai Lombang atau Slopeng. Pasir di sini lebih mirip
kerikil-kerikil kecil. Bentuknya beragam, kebanyakan batang memanjang, ada yang
bulat, oval dan jenis serta bentuk lainnya. Bahkan ada yang menghampar dengan
kontur yang khas. Ada juga yang berbentuk seperti karton telur. Unik. Warna
bebatuan didominasi warna putih cerah, bahkan ada yang mengkilap. Saya menduga
bahwa batuan-batuan kecil ini berasal dari koral atau terumbu karang yang entah
bagaimana caranya terhempas dan hancur dari kedalaman laut atau pinggir pantai
lalu menumpuk membentuk tangkis laut, yang menurut perkiraan sepanjang kurang
lebih dua kilometer.
Disamping batuan-batuan kecil,
ada juga batu-batu besar. Bahkan ada yang sangat besar. Bentuknya seperti batu
karang biasa. Jika diamati dengan mata telanjang, ada perbedaan posisi
penempatan batu-batu itu. Batu-batu kecil berada di sisi yang menghadap ke
pantai. Sementara batu-batu besar menghadap lautan lepas. Sehingga seolah-olah
batu-batu besar itu menahan batu-batu kecil agar tidak terbawa arus ke tengah
laut atau terhempas ke arah pantai--perlu diketahui, menurut cerita penduduk setempat
ombak di sekitar tangkis laut itu relatif besar dibanding dengan yang lain. Disamping
itu, batu-batu kecil penempatannya lebih teratur dan rata. Sementara batu-batu
yang besar tidak beraturan. Salah satu teman mencoba mengukur lebar tangkis
laut itu, pada titik terlebar didapat angka kurang lebih 15-20 meter.
Hal menarik lainnya, di atas
tangkis laut itu, telah berdiri dua buah warung yang menjual makanan dan
minuman ringan. Penduduk sekitar jeli memanfaatkan banyaknya masyarakat yang
datang sebagai peluang bisnis. Disamping itu, jasa antar jemput perahu
menjamur. Perahu yang biasanya dipakai untuk mencari ikan, kini bisa
dimanfaatkan untuk pekerjaan sampingan antar jemput masyarakat yang penasaran
terhadap tangkis laut itu. Pada hari minggu atau hari-hari libur sekolah,
banyak masyarakat yang datang mengobati penasaran sambil menyegarkan pikiran dari
kesibukan pekerjaan sehari-hari.
Pada gundukan yang agak tinggi di sisi barat,
terpancang bendera merah putih berkibar-kibar ditiup angin. Beberapa muda-mudi
mengambil gambar dengan kamera ponsel. Beberapa yang lainnya merekam video.
Saya berfikir bagaimana tangkis laut sepanjang dua kilometer ini bisa tercipta
dalam satu malam. Dengan banyak bebatuan yang besar pula. Seorang teman dengan
nada bercanda, ‘’siapa pemborong tangkis laut ini?”. Dalam hati saya menimpali,
siapapun yang memborong pekerjaan tangkis laut ini pasti tidak ada korupsi di
dalamnya.
![]() |
Bersama dengan Matha, penampakan tangkis laut misterius |