Monday 1 June 2009

TENTANG DIA

Aku memasukkan Honda Jazz kakak iparku ke dalam garasi, orang yang duduk di samping berselimutkan jaket hitam nampak menggigil karena air hujan. Aku pandangi wajahnya dengan senyum iba, lalu pandanganku beralih pada jaket yang nampaknya made in luar negeri itu.
“turun, sudah nyampe….”
Aku lihat tatapannya kosong. Wajahnya menampilkan arakan mendung. Padahal, hujan sendiri sudah hampir reda. Aku beranjak turun lebih dulu. Bergegas membukakan pintu mobil agar ia bisa segera turun dan berganti pakaian.
“lho! ayo turun, dek….”
Dia masih saja duduk dan tatapan matanya kosong. Aku raih tangannya agar ia mau turun. Dia tetap saja diam tapi tidak menolak ketika aku bimbing untuk turun. Aku memandu dia untuk masuk rumah—rumah bakal mertuaku. Kurasakan tangannya dingin sekali. Aku ambilkan pakaian dari lemari dan aku tinggalkan dia di kamar agar segera berganti baju.
5 menit berlalu, aku kembali masuk kamar. Ternyata, masih saja dia mematung. Kali ini pandangannya tertuju pada lukisan seseorang dengan latar belakang gerimis yang aku print dari internet beberapa waktu yang lalu.
“lho, kok belum ganti pakaian juga sih? Kamu tuh kedinginan. Cepat ganti pakaian,” Aku ambil jaket yang menyelimutinya, dan melemparkan jaket itu ke dalam keranjang pakaian kotor yang terletak di pojok ruang dekat tempat sampah. “apa perlu kakak yang bantu agar bisa ganti baju?” aku menggodannya.Godaanku sukses menyadarkan dia. Dia beranjak mengambil pakaian yang tadi aku siapkan dan bergegas masuk kamar mandi. Aku menghela nafas berat. Aku merebahkan tubuhku begitu saja di atas springbed. Di kepalaku sedang bergumul beribu pertanyaan tentang jaket hitam yang kini ada di keranjang itu.
“Ah kenapa tidak aku masukkan ke tempat sampah saja tadi…..” lirihku mencoba menetralkan bahan kimia berbahaya yang menyembur memenuhi saraf-saraf kepalaku.
***
“kamu menemui cinta pertamamu?” ini adalah pertanyaan ke lima dari daftar perntanyaanku. Hari ini adalah hari ke 15 pasca hujan dengan jaket hitam yang kini aku sudah tidak tau ada di mana jaket itu berada. Mungkin saja sudah dibuang, atau malah disimpan di dalam lemari. Aku sungguh tidak mengetahuinya. Tempat ini adalah taman yang sama, taman dimana 15 hari yang lalu, aku disuruh kakak ipar untuk menjemput dan menyelamatkan dari hujan yang digemarinya tapi seringkali membuatnya sakit.
Sebelum ngobrol tentang tema yang telah aku ajukan lebih dulu, aku memesan es teler kesukaannya seharga dua ribu perak. Aku pesan tiga. Untukku, untuknya. Satu lagi aku siapkan, mungkin saja diantara kami ada yang kurang.
“Adek siap membicarakan masalah ini dengan Mas?”
“yut!” Katanya dengan dialek daerahnya yang kental.
“Kita mulai dari mana?”
“Terserah mas saja, ini kan inisiatif, Mas. Aku nginkut aja.”
“Kamu yakin aku ini tunangannmu?”
“Tentu saja, kenapa tanya itu…?”
“Em… aku pikir gak ada salahnya bertanya, kan?”
“Ya!”
“Kamu menemui cinta pertamamu?”
“Ya, kenapa?”
“Kamu tidak merasa berasalah sama mas?”
“ Aku tidak ngapa-ngapain dengan dia, tidak kangen-kangenan, dan tidak yang lainnya.”
“Kamu yakin?”
“yakin! Sangat yakin!”
“Tapi aku tersinggung.”
‘Cemburu maksudnya?”
“Entahlahlah! Tapi aku tidak suka itu.”
‘Apa alasannya?”
“Apa perlu aku mengajukan alasan untuk masalah seperti ini?”
“Ya, jika mas mau.”
“boleh balik tanya?”
“………”
“Kenapa juga kamu tidak suka ketika aku chat dengan Irma. Kamu bisa menjawabnya. Dan, jawabanmu adalah jawabanku juga.”
“………”
“Satu lagi, apa kamu membicarakan masa kisah cintamu yang dulu dengan cinta pertamamu itu?”
“ya.”
“untuk apa?”
“tidak untuk apa-apa, hanya gak ada topik yang lain lagi untuk dibicarakan.”
“itu yang paling tidak aku sukai! Aku kecewa dengan hal itu.”
“Aku salah. aku minta maaf.”
“Mungkin bagimu ini masalah klise dan akan selesai dengan maaf. Tapi, tidak bagiku. Ini masalah prinsip dan komitmen. Jika kamu menafikan dua hal itu, apa artinya hubunan ini?”
“Aku pikir kisah cinta pertama kita berbeda. Jadi…”
“Jadi, jika berbeda kamu bisa seenaknya membicarakan hal yang aku benci. Aku juga punya cinta pertama, bahkan cinta kedua. Tapi, aku tidak pernah mengungkit-ungkit untuk jadi bahan obrolan dengan orangnya. Karena, sekali lagi, ini menyangkut komitmen, menyangkut perasaan. Dan aku menghormati perasaanmu. Bukankah kamu sendiri yang bilang bahwa perasaan itu halus. Kalau mau, aku bisa saja melakukan hal yang serupa, atau lebih. Tapi, aku tidak melakukannya. Kamu tau alasannya kenapa…………..?”
“……….”
“Tolong jangan menangis. Aku tidak bisa menyelesaikan masalah ini dengan tangisan. Karena aku akan iba dan akan melupakan subtansinya. Aku tidak mau kejadian ini terjadi lagi selama kita tunangan dan seterusnya.”
“maafkan adek…..”
“Aku tidak melarang kamu berkomunikasi dengan siapapun. Asal saja hal itu tidak menginjak-nginjak perasaanku dan yang paling penting kehortamatan pertunangan kita, nilai sucinya, dan pengorbanan yang telah kamu dan aku lakukan.”
“Adek salah…”
“Tolong berhenti menilai salah atau benar. Tidak penting apa masalah ini benar atau salah. Sebab, mestinya sebuah hubungan tidak didasarkan pada benar dan salah. Tapi, pantas tidak pantas. Etis tidak etis. Jika benar atau salah menjadi landasan, maka, ketika kita berbuat salah, aka kita akan mencari pembenaran. Mencari dalil legalitas. Dan hal itu sama sekali tidak sehat dalam sebuah ikatan. Termasuk ikatan pertunangan. Kurang apa aku selama ini? Jika kamu bilang aku sabar dan selalu ada untukmu. Mungkin, tak semuanya benar. Semua pasti ada titik nadirnya. Ada titik jenuhnya. Aku tau apa yang kau bincangkan dengan cinta pertamamu itu. Dan itu sungguh-sungguh menyakitiku. Menyakiti perasaanku untuk yang kesekian kali. Mungkin aku terlalu posesif. Tapi, aku tau bahwa menyayangimu tak selamanya harus kejam terhadap perasaanku. Mungkin, selama ini yang aku tampilkan adalah sosok terhalus yang aku miliki. Tapi, tolong disadari, aku juga punya sisi lainnya. Aku akui aku egois, pemarah, temperament, mudah tersinggung, sensitif, dan sifat jelek lainnya. Aku pikir, tidak ada salahnya kita introspeksi. Aku ingin kamu memikirkan tentang semuanya. Jangan bertanya aku ragu atau apa.”
Itu adalah kalimat panjang yang keluar begitu saja dari mulutku. Entah, mengapa aku bisa sampai mengeluarkannya, apalagi aku rasa cukup pedas. Pedas untuk ukuran orang yang sedang aku pandangi tangis pecah air matanya. Aku memang tidak bisa melihatnya menangis. Tapi, kali ini aku harus tegas meluruskannya. Minimal mengeluarkan gumulan kata-kata yang memenuhi batok kepalaku.
“Terkadang aku ingin putus saja darimu jika saja ……”
“Kakak…..!!!” dia beranjak dari tempat duduknya dan menghambur memelukku. Dia memangilku dengan panggilan Kakak. Oya, Sebelum orang ini aku pertunangkan aku memposisikan dia sebagai adik, dan dia memposisikan aku sebagai kakaknya.
Dia sesengukan sambil menguncang-guncang tubuhku. Tumpahan air matanya membasahi baju liris hijau hadiah darinya waktu aku ultah kemarin.
“jangan keluarkan kata-kata itu!!!!!” dia sesengukan dan menyembunyikan wajahnya di dadaku.
Aku luluh.
“Alek, mohon maaf…..” kembali dia menggunakan panggilan lama untuk dirinya yang membuat hatiku teriris-iris.
Aku sadar sepenuhnya kata-kata putus hanya shock terapi baginya.
Aku tidak tau apa aku harus melepaskan pelukan ini. Karena di samping dia belum halal, orang-orang di taman ini mulai menjadikan kami tontonan.
Setelah sekian lama dia terisak, aku usap air matanya yang membuat kelopaknya sembab. “Pulang, ya?” dia menjawab dengan anggukan kecil.
Tak lama lagi, matahari segera masuk ke peraduannya. Aku mengayuh sepeda ontel polygon-ku. Di belakangku, membonceng seorang gadis manying dengan mata sembab, menyeruput es teler bungkus plastik ketiga. Tubuhnya terguncang-guncang karena aku sengaja lewat jalan yang tidak rata. Sayup-sayup terdengar suara adzan dari corong pengeras suara di masjid. Aku mempercepat kayuhan sepdea agar segera bisa memenuhi panggilan adzan. Akan aku adukan pada-Nya cerita di sore ini.

2 comments:

partelon said...

Bhuh, alih profesi neh? Dari urusan pemilu ke urusan "pamilu", hehehe...

Btw, ma' masse sak-nyaloksak rumah bakal mertua??? beh jhe' na-perna eh... :P

SUBAIDI said...

Matorsakalangkong ra Partelon, abdina perak ajunan tor mator di blog abdina.....